Kamis, 26 Oktober 2017

DRAFT PROPOSAL


Nama              : Siti Miftahul Jannah
Nim                 : 10538300114
Jurusan           : Pendidikan Sosiologi
Tema               : Toleransi Agama
 

BAB I PENDAHULUAN
Manusia sejatinya adalah makhluk sosial yang mana tidak bisa bertahan hidup tanpa bantuan orang lain. Manusia dalam kehidupannya memiliki tiga fungsi, yaitu sebagai makhluk Tuhan, makhluk individu, dan makhluk sosial-budaya[1] yang saling berkaitan dimana kepada Tuhan memiliki kewajiban untuk mengabdi, sebagai individu harus memenuhi segala kebutuhan pribadinya dan sebagai makhluk sosial-budaya harus hidup berdampingan dengan orang lain dalam kehidupan yang selarasdan saling membantu.
Manusia sebagai makhluk individu memiliki unsur jasmani dan rohani, unsur fisik dan psikis, unsur raga dan jiwa. Seseorang dikatakan sebagai manusia individu manakala unsur-unsur tersebut mmenyatu dalam dirinya. Jika unsur tersebut sudah tidak menyatu lagi, maka seseorang tidak disebut lagi sebagai individu. Bila seseorang hanya tinggal raga, fisik, atau jasmaninya saja, maka dia tidak dikatakan sebagai individu. Manusia sebagai makhluk individu mengandung arti bahwa unsur yang ada dalam diri individu tidak terbagi, merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Jadi, sebutan individu hanya tepat bagi manusia yang memiliki keutuhan jasmani dan rohaninya, keutuhan fisik dan psikisnya, serta keutuhan raga dan jiwanya.
Makna manusia menjadi individu apabila pola tingkah lakunya hampir identik dengan tingkah laku yang bersangkutan. Proses yang meningkatkan ciri-ciri individualitas pada seseorang sampai ia adalah dirinya sendiri, disebut proses individualisasi atau aktualisasi diri. Individu dibebani berbagai peranan yang berasal dari kondisi kebersamaan hidup maka muncul struktur masyarakat yang akan menentukan kemantapan masyarakat. Konflik mungkin terjadi karena pola tingkah laku spesifik dirinya bercorak bertentangan dengan peranan yang dituntut oleh masyarakat dari dirinya.[2]
Manusia sebagai makhluk sosial-budaya yang hidup dimasyarakat adalah senantiasa hidup bersama dengan orang lain. Praktik hidup dimasyarakat diwarnai terjalinnya interaksi antara manusia dalam masyarakat, baik individu dengan individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan organisasi, maupun organisasi dengan organisasi yang tampak dalam pranata dan lembaga-lembaga sosial.[3]
Lembaga-lembaga sosial yang terdapat dalam kehidupan masyarakat akan memfasilitasi bagaimana hubungan itu terjadi dan bagaimana kepentingan masyarakat bisa tersalurkan dan terakomodasi. Keragaman yang terdapat dalam suatu masyarakat juga mampu mewarnai bagaimana manusia sebagai actor sosial mampu berinteraksi dengan orang lain. Ilustrasi diatas menggambarkan bahwa dalam sebuah masyarakat terkandung suatu struktur yang dapat dikenali oleh siapa saja yang mempelajari dan berada dalam kehidupan sosial.
Masyarakat Indonesia pada dasarnya memiliki struktur yang khas berbeda dengan struktur masyarakat lain. Bangunan struktur masyarakat Indonesia memberikan sarana dan fasilitas bagaimana masyarakat Indonesia mampu berinteraksi dengan memanfaatkan potensi keragaman yang ada di dalamnya sehingga terbangun ‘kekuatan besar’ dalam bentuk integrasi masyarakat.
Kondisi geografis dan sosial budaya nusantara lebih banyak mewarnai corak kehidpan bangsa Indonesia. Sebuah ungkapan lama, namun tetap penting untuk kita catat sampai hari ini, bahwa masyarakat Indonesia adalah bersifat majemuk (pluralistis). Kemajemukan masyarakat Indonesia itu ditandai oleh beberapa faktor, yang antara lain oleh perbedaan suku, agama, ras/etnis dan antar golongan (SARA) serta kebudayaan local dan kepentingan yang beraneka ragam.
Sebagai konsekuensi masyarakat yang pluralis, masyarakat Indonesia secara geografis dan cultural memiliki kebudayaan yang beragam. Keberagaman budaya ini disebabkan antara lain karena kondisi geografis wilayah Indonesia dan letak kepulauan Indonesia yang berposisi pada jalan silang dunia terletak di antara dua benua dan dua samudera. Wilayah Indonesia yang terdiri dari lebih 17.504 pulau besar dan kecil yang satu dengan yang lain dipisahkan oleh selat yang bertebaran di daerah ekuator sepanjang sekitar 3000 mil dari Timur ke Barat dan lebih dari 1000 mil dari Utara ke Selatan, merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap terbentuknya keberagaman budaya. Dalam pandangan determinisme geografis, perbedaan kondisi lingkungan goegrafis banyak menentukan kebudayaan orang-orang yang bertempat tinggal di lingkungan geografis itu.
Sebagai Negara-bangsa (nation­-state), Indonesia dihadapkan pada kenyataan heterogenitas atau kebinekaan masyarakat sebagai warga Negara. Ini realitas pluralism masyarakat yang merupakan kenyataan sejarah bangsa. Salah satu bentuk pluralitas tersebut adalah pluralism agama yang pada dasarnya setiap agama membawa kedamaian dan keselarasan hidup. Namun pada kenyataannya, agama yang tadinya berfungsi sebagai pemersatu tak jarang menjadi suatu unsur konflik. Hal tersebut disebabkan adanya truth claim atau klaim kebenaran pada setiap penganutnya.[4]
Dalam agama Islam sendiri terdapat pedoman bagi umat dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Pedoman tersebut adalah Al-Qur’an dan Al-Hadist yang beridi nilai-nilai yang dapat dijadikan dasar untuk berbuat baik ketika berhubungan dengan Allah, dengan sesama manusia maupun dengan alam sekitarnya. Al-Qur’an mengatur bagaimana manusia berperilaku, menggali dan memanfaatkan sumber daya alam, bahkan Al-Qur’an mengatur bagaimana menjalani hidup bersama dengan orang lain yang berbeda agama atau keyakinan.
Sebagai ajaran yang rahmatan lil ‘alamin atau menjadi rahmat bagi semesta alam, Al-Qur’an tidak mengajarkan kepada umat Islam untuk menebarkan bibit permusuhan, baik kepada sesama agama maupun kepada umat agama lain. Al-Qur’an juga tidak membenarkan berbagai tindakan atau aksi yang mengatasnamakan “membela” Islam. Al-Qur’an memang menegaskan bahwa Islam adalah agama yang paling benar menurut Allah. Namun, klaim pembenaran (truth claim) ini bukan berarti memperbolehkan umat Islam untuk membunuh penganut agama lain di luar Islam.
Dalam menyikapi perbedaan agama, Al-Qur’an menekankan pentingnya sikap toleransi (tasamuh) kepada mereka yang berbeda agama. Sebab, perbedaan (termasuk perbedaan agama) merupakan sebuah keniscayaan (sunnatullah) yang tidak mungkin bisa ditolak.
Sebenarnya, Allah Mahakuasa untuk menjadikan semua agama itu satu saja, tetapi kenapa Allah tidak melakukannya? Apa tujuan penciptaan berbagai agama itu? Al-Qur’an menjawabnya dengan indah:

وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ بِٱلۡحَقِّ مُصَدِّقٗا لِّمَا بَيۡنَ يَدَيۡهِ مِنَ ٱلۡكِتَٰبِ وَمُهَيۡمِنًا عَلَيۡهِۖ فَٱحۡكُم بَيۡنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُۖ وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَهُمۡ عَمَّا جَآءَكَ مِنَ ٱلۡحَقِّۚ لِكُلّٖ جَعَلۡنَا مِنكُمۡ شِرۡعَةٗ وَمِنۡهَاجٗاۚ وَلَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ لَجَعَلَكُمۡ أُمَّةٗ وَٰحِدَةٗ وَلَٰكِن لِّيَبۡلُوَكُمۡ فِي مَآ ءَاتَىٰكُمۡۖ فَٱسۡتَبِقُواْ ٱلۡخَيۡرَٰتِۚ إِلَى ٱللَّهِ مَرۡجِعُكُمۡ جَمِيعٗا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ فِيهِ تَخۡتَلِفُونَ ٤٨
Terjemahnya:
Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. (QS. Al-Maidah:48).

Dari ayat itu kita dapat menyimpulkan beberapa hal. Pertama, agama itu berbeda-beda dari segi aturan (syariat) dan pandangan hidupnya (akidah). Karena itu, pluralitas agama merupakan sebuah kenyataan yang tidak bisa dihindari. Kedua, Tuhan tidak menghendaki kita semua menganut agama yang tunggal. Keragaman agama itu dimaksudkan untuk menguji kita semua. Ujian-Nya adalah sebarapa banyak kita memberikan kontribusi kebaikan kepada umat manusia. Setiap agama disuruh bersaing dengan agama lain dalam memberikan kontribusi kepada kemanusiaan (al-akhirat).
Ketiga, semua agama itu kembali kepada Allah. Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, Yahudi, dan Nasrani kembalinya kepada Allah. Adalah tugas dan wewenang Tuhan untuk menyelesaikan perbedaan diantara berbagai agama. Kita tidak boleh mengambil alih Tuhan untuk menyelesaikan perbedaan agama dengan cara apapun, termasuk dengan fatwa (Jalaluddin Rakhmat, 2006:33-34).
Disinilah, pentingnya membangun toleransi (tasamuh) antarumat beragama. Dengan toleransi, pluralitas dan perbedaan agama dipandang sebagai sunnatullah yang tidak akan pernah berubah sama sekali dan selamanya, karena merupakan kodrat Tuhan dan kenyataan kehidupan yang tak terbantahkan. Toleransi terhadap pluralitas juga menghendaki sikap saling memahami (mutual understanding), dan saling menghargai (mutual respect).
Berpijak pada pemikiran tersebut, penulis ingin mencoba menguraikan teologi Islam dan Kristen mengenai pluralisme agama di salah satu kecamatan sehingga penulis mengangkat tema “Toleransi Agama”.



[1] Setiadi, Elly M dkk :Ilmu Sosial dan Budaya Dasar.(Jakarta: Fajar Interpratama Mandiri, 2017),hlm.50.
[2] Soelaeman,  M. Munandar:Ilmu Sosial Dasar, Teori dan Konsep Ilmu Sosial.(Bandung: Refika Aditama, 2015), hlm.114.
[3] Hakim, Suparlan Al:Pengantar Studi Masyarakat Indonesia.(Malang:Madani,2015),hlm.2.
[4] Maryama, Ima:Al-Qur’an dan Kerukunan Hidup Umat Beragama.(Jakarta: Elex Media Komputindo, 2011), hlm.129.

MAKALAH PENELITIAN SOSIAL BUDAYA

“PERKELAHIAN KELOMPOK (TAWURAN) SEBAGAI BENTUK FENOMENA SOSIAL DI KALANGAN PELAJAR”




KELOMPOK I   
Suardi
Edianto
Siti Miftahul Jannah                  
Andi Neneng Ambarwati              

Nama Dosen : Lisnawati Ali, S.Pd., M.Pd

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2017/2018


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Perkelahian kelompok antar remaja adalah suatu bentuk tindakan kekerasan atau agresi yang di lakukan oleh suatu kelompok remaja dengan kelompok remaja yang lain dimana mereka berusaha untuk menyingkirkan pihak lawan dengan menghancurkan atau membuat mereka tidak berdaya. Perkelahian kelompok antar remaja disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian psikis tertentu kemudian mereka melakukan mekanisme kompensatoris guna menuntut perhatian lebih, khususnya untuk mendapatkan pengakuan lebih terhadap egonya yang merasa tersisih atau terlupakan dan tidak mendapatkan perhatian yang pantas dari orang tua sendiri maupun dari masyarakat luas. Biasanya perilaku mereka juga di dorong oleh kompensasi pembalasan terhadap perasaan-perasaan inferior/min-pleks, untuk kemudian di tebus dalam bentuk tingkah laku “melambung dan ngejago” guna mendapatkan perlakuan lebih terhadapnya.
Perkelahian kelompok antar remaja ini merupakan perilaku yang menyimpang dan melanggar norma yang ada dalam masyarakat. Perkelahian kelompok antar remaja ini menimbulkan berbagai dampak negative baik bagi para remaja yang terlibat dalam perkelahian tersebut maupun masyarakat.  Maka dari itu perlu adanya kepedulian dari pihak keluarga, sekolah, maupun masyarakat untuk menanggulangi perkelian kelompok antar remaja.

B.     Rumusan Masalah 
1.      Apa yang dimaksud dengan perkelahian antar kelompok (tawuran)? 
2.      Apa faktor yang menyebabkan terjadinya perkelahian? 
3.      Apa saja dampak dari perkelahian antar kelompok (tawuran)? 
4.      Bagaimana solusi dari perkelahian antar kelompok (tawuran) dikalangan pelajar ? 
 
C.    Tujuan
             1.      Memahami apa yang  dimaksud dengan perkelahian antar kelompok (tawuran). 
             2.      Memahami faktor yang menyebabkan terjadinya perkelahian. 
             3.      Memahami dampak dari perkelahian antar kelompok (tawuran).
             4.      Mengetahui solusi dari perkelahian antar kelompok (tawuran) dikalangan pelajar .


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Defenisi
Tawuran dalam kamus bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai perkelahian yang meliputi banyak orang. Sedangkan pelajar adalah seorang manusia yang belajar. Sehingga apabila kita menarik garis besarnya yaitu perkelahian antar banyak orang yang tugas pelakunya adalah manusia yang sedang belajar. Ironis memang orang yang sedang belajar melakukan perkelahian, namun itu kenyataan yang terjadi.
Menurut Sofyan S, Willis (2005) perkelahian adalah merupakan suatu perbuatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban umum, dimana perkelahian menunujukkan tindakan dari kedua belah pihak secara bersamaan. Sebagaimana kita ketahui bahwa perkelahian antar pelajar melibatkan beberapa orang pelajar yang turut serta baik dalam perkelahian maupun dalam penyerangan. Jadi, perkelahian antar pelajar adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh beberapa orang pelajar yang dilakukan secara beramai-ramai (massal), baik perbuatan tersebut dilakukan secara memukul, menendang, menusuk dengan pisau tumpul dan benda tajam yang mana semua itu dapat mengakibatkan rasa derita pada orang lain yang menjadi korban.
Secara psikologis, perkelahian yang melibatkan pelajar usia remaja digolongkan sebagai salah satu bentuk kenakalan remaja (juvenile deliquency). Kenakalan remaja, dalam hal perkelahian, dapat digolongkan ke dalam 2 jenis delikuensi yaitu situasional dan sistematik.
  1. Pada delikuensi situasional, perkelahian terjadi karena adanya situasi yang mengharuskan mereka  untuk berkelahi. Keharusan itu biasanya muncul akibat adanya kebutuhan untuk memecahkan masalah secara cepat.
  2. Sedangkan pada delikuensi sistematik, para remaja yang terlibat perkelahian itu berada di dalam suatu organisasi tertentu atau geng. Di sini ada aturan, norma dan kebiasaan tertentu yang harus diikuti angotanya, termasuk berkelahi. Sebagai anggota, tumbuh kebanggaan apabila dapat melakukan apa yang diharapkan oleh kelompoknya.
B.     Faktor Penyebab Terjadinya Perkelahian Kelompok (Tawuran)
Dalam pandangan psikologi, setiap perilaku merupakan interaksi antara kecenderungan di dalam diri individu (sering disebut kepribadian, walau tidak selalu tepat) dan kondisi eksternal. Begitu pula dalam hal perkelahian pelajar. Bila dijabarkan, terdapat sedikitnya 4 faktor psikologis mengapa seorang remaja terlibat perkelahian pelajar.
      1.      Faktor internal.
Remaja yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti adanya keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua rangsang dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tapi pada remaja yang terlibat perkelahian, mereka kurang mampu untuk mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi itu untuk pengembangan dirinya.
Mereka biasanya mudah putus asa, cepat melarikan diri dari
masalah, menyalahkan orang / pihak lain pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk memecahkan masalah. Pada remaja yang sering berkelahi, ditemukan bahwa mereka mengalami konflik batin, mudah frustrasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap perasaan orang lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat. Mereka biasanya sangat membutuhkan pengakuan.
     2.      Faktor keluarga.
Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal yang wajar kalau melakukan kekerasan yang sama. Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, banyak anak akan menyerahkan dirinya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya. Selain itu suasana keluarga yang menimbulkan rasa tidak aman dan tidak menyenangkan serta hubungan keluarga yang kurang baik dapat menimbulkan bahaya psikologis bagi setiap usia terutama pada masa remaja. Menurut Hirschi (dalam Mussen dkk, 1994)
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa salah satu penyebab kenakalan remaja dikarenakan tidak berfungsinya orang tua sebagai figure teladan yang baik bagi anak (hawari, 1997). Sehingga peran besar keluarga dituntut untuk memberikan contoh yang baik agar anak-anak tidak mencari perilaku menyimpang seperti tawuran pelajar.
     3.      Faktor sekolah
Sekolah pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga yang harus mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu harus dinilai dari kualitas pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas praktikum, dsb.) akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Setelah itu masalah pendidikan, di mana guru jelas memainkan peranan paling penting. Sayangnya guru lebih berperan sebagai penghukum dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh otoriter yang sebenarnya juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk berbeda) dalam mendidik siswanya. Bagi Durkheim, sekolah mempunyai fungsi yang sangat penting dan sangat khusus untuk menciptakan makhluk baru, yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan masyarakat. (Emile Durkheim, Leducation Morale ( Paris : Libraire Felix Alean, 1925), hal. 68. Untuk itu dibutuhkan sekali keselarasan antara harapan masyarakat dengan system pengajaran. Sekolah untuk lingkungan masyarakat militer harus berbeda dengan cara pengajaran di sekolah yang memperuntukkan anak didiknya untuk dunia industry. Namun, disamping itu semua hal yang paling penting dalam mengajar adalah menumbuhkan motivasi diri (self motivation) untuk belajar. Dengan ada keinginan sendiri untuk belajar bagi para siswa maka mereka akan bisa lebih focus terhadap pelajaran yang diberikan oleh pengajar.
     4.      Faktor lingkungan
Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Begitu pula sarana transportasi umum yang sering menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi.
Lingkungan yang tidak menerima eksistensi para remaja juga menjadi slah satu faktor pemicu seorang pelajar atau remaj melakukan perbuatan-perbuatan anarki. Padahal pada usia remaja tersebut remaja dalam taraf pencarian jati diri, dan dibutuhkan sekali dukungan dan partisipasi warga masyarakat dilingkungan sekitar mereka berada. Hal itu bisa dilakukan dengan berbagai cara diantaranya mengadakan wadah organisasi pemuda, memberikan apresiasi terhadap remaja yang berprestasi, melibatkan remaja dalam berbagai kegiatan kemsyarakatan sampai dengan memberikan tanggung jawab yang lebih untuk menjadi panitia sebuah kegiatan yang diadakan oleh masyarakat. Hal-hal tersebut mungkin bisa diharapkan untuk meminimalisasi remaja untuk mencari kegiatan-kegiatan negative di luar lingkungan mereka atau dengan kata lain untuk meminimalisasi tawuran pelajar.

C.    Dampak Perkelahian Kelompok (Tawuran)
      1.      Dampak positif
-        Menimbulkan keberanian, karena tidak takut akan sesama pelajar.
-   Penghargaan “rasa terhormat” terhadap seorang pelajar pada suatu kelompok  pelajar yang berkelahi.
       2.      Dampak Negatif
       Bagi pelajar
-           Akan dijauhi teman.
-           Menimbulkan luka fisik.
-          Tindak pidana jika mengakibatkan luka fisik maupun kematian pada seseorang.
            Bagi keluarga
-          Rasa malu terhadap tetangga sekitar karena ulah salah satu anggota keluarga.
-          Keluarga mendapat teguran dari dari pihak sekolah, masyarakat maupun kepolisian
            Bagi Sekolah
-    Kerugian materiil yang mungkin timbul seperti rusaknya gedung sekolah maupun peralatan lain akibat dari pelemparan benda dari pihak lain.
-     Kerugian yang menyangkut nama baik sekolah dalam masyarakat maupun aparat keamanan, yakni timbulnya kesan sekolah urakan dan menjadi pengawasan dari pihak yang berwajib.

D.    Solusi Perkelahian Kelompok (Tawuran)
Dalam menanggulangi perkelahian kelompok antar remaja dapat dilakukan melalui upaya-upaya sebagai berikut:
      1.      Upaya preventif
Yang dimaksud dengan upaya preventif adalah kegiatan yang dilakukan secara sistematis, terrencana dan terarah untuk menjaga agar tidak terjadi perkelahian kelompok antar pelajar. Upaya preventif yang dapat dilakukan diantaranya yaitu:
Di dalam keluarga
-          Orang tua menciptakan kehidupan rumah tangga yang beragama.
-          Menciptakan kehidupan keluarga yang harmonis.
-          Adanya kesamaan norma-norma yang di pegang, antara ayah, ibu, dan keluarga lainnya di dalam rumah tangga dalam mendidik anaknya.
-          Memberikan kasih sayang secara wajar kepada anak-anak.
-    Memberikan pengawasan secara wajar terhadap pergaulan anak remaja di lingkungan anak remaja.
 Upaya sekolah
-        Guru hendaknya memahami aspek-aspek psikis murid.
-     Mengintensifkan pelajaran agama dan mengadakan tenaga guru yang ahli dan berwibawa serta mampu bergaul secara harmonis dengan guru yang lain
-     Melengkapi fasilitas sekolah dan membuat metode pembelajaran yang baik dan menyenagkan agar siswa betah mengikuti pelajaran di sekolah.
-   Mengintensifkan bimbingan dan konseling di sekolah dengan cara mengadakan tenaga ahli (konselor).
-          Adanya kesamaan norma-norma yang di pegang oleh guru-guru.
 Upaya masyarakat
- Menciptakan lingkungan yang aman, tenag, harmonis, gotong royog, menciptakan komunikasi/sosialisasi yang baik antar individu dalam masyarakat.
        2.      Upaya kuratif
Yang dimaksud upaya kuratif yaitu upaya antisipasi agar perkelahian kelompok antar remaja tidak meluas dan merugikan masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan cara:
-      Upaya kuratif secara formal: memberikan hukuman bagi remaja yang melanggar aturan atau norma yang berlaku.
-          Upaya kuratif masyarakat: berorganisasi secara baik.
       3.      Upaya pembinaan
-          Membina mental dan kepribadian remaja.
-          Membina mental untuk menjadi warga Negara yang baik.
-          Memina kepribadian yang wajar.
-          Pembinaan ilmu pengetahuan.
-          Pembinaan bakat-bakat khusus. Misalnya anak yang suka berkelahi di arahkan unyuk mengikuti ekstra tekondo.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Perkelahian kelompok antar remaja di dorong oleh kompensasi pembalasan terhadap perasaan-perasaan inferior/min-pleks, untuk kemudian di tebus dalam bentuk tingkah laku “melambung dan ngejago” guna mendapatkan perlakuan lebih terhadapnya. Terdapat dua factor yang mempengaruhi perkelahian kelompok antar remaja, diantaranya yaitu factor internal dan factor eksternal. Uapaya menanggulangi perkelahian kelompok antar remaja tersebut dapat di lakukan melalui beberapa upaya diantaranya upaya prefentif, kuratif dan pembinaan. Perkelahian kelompok antar remaja tersebut akan menimbulkan dampak negative baik untuk remaja itu sendiri maupun masyarakat.

B.     Saran
Sebaiknya orang tua bisa memberikan perhatian dan kasih sayang yang cukup pada anaknya serta melakukan pengawasan yang sewajarnya, sehingga  anak mereka tidak terjrumus dalam pergaulan yang salah. Pihak sekolah dan masyarakat juga harus ikut mengawasi para remaja agar tidak terjadi perkelahian kelompok antar remaja.

DAFTAR PUSTAKA


 www.wikipedia.com (diakses pada tanggal 24 Oktober 2017)
Kartono, kartini. 2005. Kenakalan Remaja. Jakarta: PT Raja Grfindo Persada.
Sudarso. 2004. Kenakalan Remaja. Jakarta: Rineka Cipta.
Willis, sofyan S. 2010. Remaja dan Masalahnya. Bandung: Alfabeta.