Nama : Siti Miftahul Jannah
Nim : 10538300114
Jurusan : Pendidikan Sosiologi
Tema : Toleransi
Agama
BAB I PENDAHULUAN
Manusia
sejatinya adalah makhluk sosial yang mana tidak bisa bertahan hidup tanpa
bantuan orang lain. Manusia dalam kehidupannya memiliki tiga fungsi, yaitu
sebagai makhluk Tuhan, makhluk individu, dan makhluk sosial-budaya[1]
yang saling berkaitan dimana kepada Tuhan memiliki kewajiban untuk mengabdi,
sebagai individu harus memenuhi segala kebutuhan pribadinya dan sebagai makhluk
sosial-budaya harus hidup berdampingan dengan orang lain dalam kehidupan yang
selarasdan saling membantu.
Manusia sebagai
makhluk individu memiliki unsur jasmani dan rohani, unsur fisik dan psikis,
unsur raga dan jiwa. Seseorang dikatakan sebagai manusia individu manakala
unsur-unsur tersebut mmenyatu dalam dirinya. Jika unsur tersebut sudah tidak
menyatu lagi, maka seseorang tidak disebut lagi sebagai individu. Bila
seseorang hanya tinggal raga, fisik, atau jasmaninya saja, maka dia tidak
dikatakan sebagai individu. Manusia sebagai makhluk individu mengandung arti
bahwa unsur yang ada dalam diri individu tidak terbagi, merupakan satu kesatuan
yang tidak terpisahkan. Jadi, sebutan individu hanya tepat bagi manusia yang memiliki
keutuhan jasmani dan rohaninya, keutuhan fisik dan psikisnya, serta keutuhan
raga dan jiwanya.
Makna manusia
menjadi individu apabila pola tingkah lakunya hampir identik dengan tingkah
laku yang bersangkutan. Proses yang meningkatkan ciri-ciri individualitas pada
seseorang sampai ia adalah dirinya sendiri, disebut proses individualisasi atau
aktualisasi diri. Individu dibebani berbagai peranan yang berasal dari kondisi
kebersamaan hidup maka muncul struktur masyarakat yang akan menentukan
kemantapan masyarakat. Konflik mungkin terjadi karena pola tingkah laku
spesifik dirinya bercorak bertentangan dengan peranan yang dituntut oleh
masyarakat dari dirinya.[2]
Manusia sebagai
makhluk sosial-budaya yang hidup dimasyarakat adalah senantiasa hidup bersama
dengan orang lain. Praktik hidup dimasyarakat diwarnai terjalinnya interaksi
antara manusia dalam masyarakat, baik individu dengan individu, individu dengan
kelompok, kelompok dengan organisasi, maupun organisasi dengan organisasi yang
tampak dalam pranata dan lembaga-lembaga sosial.[3]
Lembaga-lembaga
sosial yang terdapat dalam kehidupan masyarakat akan memfasilitasi bagaimana
hubungan itu terjadi dan bagaimana kepentingan masyarakat bisa tersalurkan dan
terakomodasi. Keragaman yang terdapat dalam suatu masyarakat juga mampu
mewarnai bagaimana manusia sebagai actor sosial mampu berinteraksi dengan orang
lain. Ilustrasi diatas menggambarkan bahwa dalam sebuah masyarakat terkandung
suatu struktur yang dapat dikenali oleh siapa saja yang mempelajari dan berada
dalam kehidupan sosial.
Masyarakat
Indonesia pada dasarnya memiliki struktur yang khas berbeda dengan struktur
masyarakat lain. Bangunan struktur masyarakat Indonesia memberikan sarana dan
fasilitas bagaimana masyarakat Indonesia mampu berinteraksi dengan memanfaatkan
potensi keragaman yang ada di dalamnya sehingga terbangun ‘kekuatan besar’
dalam bentuk integrasi masyarakat.
Kondisi
geografis dan sosial budaya nusantara lebih banyak mewarnai corak kehidpan
bangsa Indonesia. Sebuah ungkapan lama, namun tetap penting untuk kita catat
sampai hari ini, bahwa masyarakat Indonesia adalah bersifat majemuk
(pluralistis). Kemajemukan masyarakat Indonesia itu ditandai oleh beberapa
faktor, yang antara lain oleh perbedaan suku, agama, ras/etnis dan antar
golongan (SARA) serta kebudayaan local dan kepentingan yang beraneka ragam.
Sebagai
konsekuensi masyarakat yang pluralis, masyarakat Indonesia secara geografis dan
cultural memiliki kebudayaan yang beragam. Keberagaman budaya ini disebabkan
antara lain karena kondisi geografis wilayah Indonesia dan letak kepulauan
Indonesia yang berposisi pada jalan silang dunia terletak di antara dua benua
dan dua samudera. Wilayah Indonesia yang terdiri dari lebih 17.504 pulau besar
dan kecil yang satu dengan yang lain dipisahkan oleh selat yang bertebaran di
daerah ekuator sepanjang sekitar 3000 mil dari Timur ke Barat dan lebih dari
1000 mil dari Utara ke Selatan, merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya
terhadap terbentuknya keberagaman budaya. Dalam pandangan determinisme
geografis, perbedaan kondisi lingkungan goegrafis banyak menentukan kebudayaan
orang-orang yang bertempat tinggal di lingkungan geografis itu.
Sebagai
Negara-bangsa (nation-state), Indonesia dihadapkan pada
kenyataan heterogenitas atau kebinekaan masyarakat sebagai warga Negara. Ini
realitas pluralism masyarakat yang merupakan kenyataan sejarah bangsa. Salah
satu bentuk pluralitas tersebut adalah pluralism agama yang pada dasarnya
setiap agama membawa kedamaian dan keselarasan hidup. Namun pada kenyataannya,
agama yang tadinya berfungsi sebagai pemersatu tak jarang menjadi suatu unsur
konflik. Hal tersebut disebabkan adanya truth
claim atau klaim kebenaran pada setiap penganutnya.[4]
Dalam agama
Islam sendiri terdapat pedoman bagi umat dalam menjalani kehidupan di dunia
ini. Pedoman tersebut adalah Al-Qur’an dan Al-Hadist yang beridi nilai-nilai
yang dapat dijadikan dasar untuk berbuat baik ketika berhubungan dengan Allah, dengan
sesama manusia maupun dengan alam sekitarnya. Al-Qur’an mengatur bagaimana
manusia berperilaku, menggali dan memanfaatkan sumber daya alam, bahkan
Al-Qur’an mengatur bagaimana menjalani hidup bersama dengan orang lain yang
berbeda agama atau keyakinan.
Sebagai ajaran
yang rahmatan lil ‘alamin atau
menjadi rahmat bagi semesta alam, Al-Qur’an tidak mengajarkan kepada umat Islam
untuk menebarkan bibit permusuhan, baik kepada sesama agama maupun kepada umat
agama lain. Al-Qur’an juga tidak membenarkan berbagai tindakan atau aksi yang
mengatasnamakan “membela” Islam. Al-Qur’an memang menegaskan bahwa Islam adalah
agama yang paling benar menurut Allah. Namun, klaim pembenaran (truth claim) ini bukan berarti
memperbolehkan umat Islam untuk membunuh penganut agama lain di luar Islam.
Dalam menyikapi
perbedaan agama, Al-Qur’an menekankan pentingnya sikap toleransi (tasamuh) kepada mereka yang berbeda
agama. Sebab, perbedaan (termasuk perbedaan agama) merupakan sebuah keniscayaan
(sunnatullah) yang tidak mungkin bisa
ditolak.
Sebenarnya,
Allah Mahakuasa untuk menjadikan semua agama itu satu saja, tetapi kenapa Allah
tidak melakukannya? Apa tujuan penciptaan berbagai agama itu? Al-Qur’an
menjawabnya dengan indah:
وَأَنزَلۡنَآ
إِلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ بِٱلۡحَقِّ مُصَدِّقٗا لِّمَا بَيۡنَ يَدَيۡهِ مِنَ ٱلۡكِتَٰبِ
وَمُهَيۡمِنًا عَلَيۡهِۖ فَٱحۡكُم بَيۡنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُۖ وَلَا
تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَهُمۡ عَمَّا جَآءَكَ مِنَ ٱلۡحَقِّۚ لِكُلّٖ جَعَلۡنَا
مِنكُمۡ شِرۡعَةٗ وَمِنۡهَاجٗاۚ وَلَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ لَجَعَلَكُمۡ أُمَّةٗ
وَٰحِدَةٗ وَلَٰكِن لِّيَبۡلُوَكُمۡ فِي مَآ ءَاتَىٰكُمۡۖ فَٱسۡتَبِقُواْ ٱلۡخَيۡرَٰتِۚ
إِلَى ٱللَّهِ مَرۡجِعُكُمۡ جَمِيعٗا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ فِيهِ
تَخۡتَلِفُونَ ٤٨
Terjemahnya:
Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan
membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang
diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka
putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang
kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan
yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat
(saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu
semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.
(QS. Al-Maidah:48).
Dari
ayat itu kita dapat menyimpulkan beberapa hal. Pertama, agama itu berbeda-beda dari segi aturan (syariat) dan
pandangan hidupnya (akidah). Karena itu, pluralitas agama merupakan sebuah
kenyataan yang tidak bisa dihindari. Kedua,
Tuhan tidak menghendaki kita semua menganut agama yang tunggal. Keragaman agama
itu dimaksudkan untuk menguji kita semua. Ujian-Nya adalah sebarapa banyak kita
memberikan kontribusi kebaikan kepada umat manusia. Setiap agama disuruh
bersaing dengan agama lain dalam memberikan kontribusi kepada kemanusiaan
(al-akhirat).
Ketiga, semua agama itu kembali kepada Allah. Islam,
Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, Yahudi, dan Nasrani kembalinya kepada Allah.
Adalah tugas dan wewenang Tuhan untuk menyelesaikan perbedaan diantara berbagai
agama. Kita tidak boleh mengambil alih Tuhan untuk menyelesaikan perbedaan
agama dengan cara apapun, termasuk dengan fatwa (Jalaluddin Rakhmat,
2006:33-34).
Disinilah,
pentingnya membangun toleransi (tasamuh)
antarumat beragama. Dengan toleransi, pluralitas dan perbedaan agama dipandang
sebagai sunnatullah yang tidak akan
pernah berubah sama sekali dan selamanya, karena merupakan kodrat Tuhan dan
kenyataan kehidupan yang tak terbantahkan. Toleransi terhadap pluralitas juga
menghendaki sikap saling memahami (mutual
understanding), dan saling menghargai (mutual
respect).
Berpijak
pada pemikiran tersebut, penulis ingin mencoba menguraikan teologi Islam dan
Kristen mengenai pluralisme agama di salah satu kecamatan sehingga penulis
mengangkat tema “Toleransi Agama”.
[1] Setiadi, Elly M dkk :Ilmu Sosial dan Budaya Dasar.(Jakarta:
Fajar Interpratama Mandiri, 2017),hlm.50.
[2] Soelaeman, M. Munandar:Ilmu Sosial Dasar, Teori dan Konsep Ilmu Sosial.(Bandung: Refika
Aditama, 2015), hlm.114.
[3] Hakim, Suparlan Al:Pengantar Studi Masyarakat Indonesia.(Malang:Madani,2015),hlm.2.
[4] Maryama, Ima:Al-Qur’an dan Kerukunan Hidup Umat Beragama.(Jakarta: Elex Media
Komputindo, 2011), hlm.129.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar