MAKALAH
TEORI
KRITIS FRANKFURT TERHADAP LINGKUNGAN
(Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Sosiologi Lingkungan)
KELOMPOK
VIII
Muh. Tino Wahyu P.
Siti Miftahul Jannah
Aprianingsih
Risma
Agus Salim
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH MAKASSAR
TAHUN
2016
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah kita panjatkan kehadirat Allah SWT
yang telah memberikan hidayah, rahmat serta karuniaNya sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, beserta para sahabatnya,
juga seluruh pengikutnya di
seluruh dunia, sejak awal kebangkitan Islam
hingga hari kiamat.
Makalah
ini bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada mahasiswa tentang bebrapa teori
kritis Frankfurt terhadap masyarakat modern dan lingkungan.
Kami
menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dan masih jauh
dari kesempurnaan. Maka dari itu kami sangat mengharapkan masukan dan saran
dari semua pihak yang sifatnya membangun. Semoga Allah SWT meridhoi usaha dan
niat baik kita bersama dalam upaya mewujudkan mahasiswa yang cerdas dan
beriman. Amin.
Makassar, Desember
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Masyarakat
dan lingkungan adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. masyarakat Perilaku
dan tindakan manusia dalam kehidupan keseharian berpengaruh pada kualitas
lingkungan dimana ia tinggal. Kerusakan lingkungan telah menjadi ancaman yang
sangat serius di semua belahan bumi dan telah dirasakan dengan adanya perubahan
iklim dan efek-efek yang ditimbulkannya. Di Indonesia, lingkungan yang
mengalami kerusakan yang parah dapat dilihat pada penggundulan hutan, polusi
udara, maupun pencemaran sungai.
Berkaitan
dengan masyarakat yang tidak bisa dilepaskan dari lingkungan, perspektif
sosiologis tidak dapat dipungkiri menjadi sangat penting dalam kajiantentang
lingkungan. Selain bersinggungan dengan kondisi geografis, biologis, teknologi,
maupun ekonomi, kajian lingkungan tidak dapat dilepaskan dari fenomena
sosial-budaya sebuah masyarakat. Inilah mengapa kajian lingkungan selalu
menjadi kajian yang interdisipliner.
Berkaitan
dengan interdisipliner, Dickens (1996: 29-34) berpendapat tentang pentingnya
pembagian kerja para intelektual untuk mengatasi problema kerusakan lingkungan
tersebut. Tiga ranah ilmu pengetahuan – biologis, fisik dan sosial – memiliki
keterkaitan dan problema lingkungan harus menjadi kajian di tiga ranah ilmu
pngetahuan ini. (Dickens, 1996: 31). Di era sosiologi kontemporer dewasa ini,
sosiologi lingkungan didominasi oleh analisis kritis dan konstruksi sosial.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
aliran tradisi kritik dari Frankfurt?
2. Bagaimana
konsep negasi dialektika pencerahan?
3. Bagaimana
konsep dari manusia satu dimensi?
4. Bagaimana
rasionalitas tindakan komunikasi itu?
5. Apa
yang dimaksud dengan masyarakat beresiko?
6. Bagaimana kritik atas modernisasi dan keterkaitannya
dengan lingkungan?
C.
Tujuan
1. Mampu
memahami aliran tradisi kritik dari Frankfurt.
2. Mampu
memahami konsep negasi dialektika pencerahan
3. Mampu
mengerti konsep dari manusia satu dimensi.
4. Mampu
memaknai rasionalitas tindakan komunikasi itu.
5. Mengerti
tentang masyarakat beresiko.
6. Memahami
kritik atas modernisasi dan
keterkaitannya dengan lingkungan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tradisi
Kritik dari Frankfurt
Teori
kritik merupakan aliran terakhir dalam perkembangan filsafat di abad ke-20
setelah fenomenologi dan aliran-aliran Neomarxis. Teori kritik disebut juga
anak dari aliran besar dalam filsafat kontemporer yang berdasarkan filsafat
Marx dan melampaui Marx dalam menghadapi masyarakat industry maju. Penganut
aliran ini lebih kreatif dalam menganalisis filsafat Marx, cara pemikiran
mereka dikenal dengan teori kritik masyarakat. Maksud dari teori ini adalah
membebaskan manusia dari pemanipulasian para teknokrat modern. Tradisi teori
ini disebut pula Mazhab Frankfurt (Die
Frankfurter Schule) karena berasaldari Institut Penelitian Sosial (The Institute Of Social Research) di
Jerman yang didirikan oleh Felix Weil, 3 Februari 1923.
Menyebut
Mazhab Frankfurt pada dsarnya mengenang riwayat tradisi intelektual yang cukup
panjang. Horkheimer, Ardono, dan Marcuse adalah perintis gerakan pemikiran ini,
yang kemudian sering pula disebut sebagai generasi pertama. Untuk lebih
jelasnya tentang corak pemikiran teori kritik, perlu memahami perkembangan
Mahzab Frankfurt asal Jerman ini. Pada umumnya, fase perkembangan aliran ini
dapat dibagi ke dalam tiga fase penting. Pertama,
fase pembentukan aliran. Fase ini berlangsung sekitar tahun 1923-1933
ketika penelitian-penelitian pertama dilakukan di lembaga penelitian Frankfurt.
Direktur pertama lembaga itu adalah Carl Grunberg, seorang ahli ekonomi,
sejarahwan sosial. Grumberg berhasil mengalahkan kajian-kajian teoretis Aliran
Frankfurt lebih berorientasi empiris dan menekankan pentingnya pendekatan
ekonomi dalam menelaah berbagai fenomena sosial.
Fase
kedua, fase pengungsian anggota
aliran Frankfurt ke Amerika Utara pada 1933-1950. Dimasa pengungsian ini,
gagasan-gagasan teori kritik Neo Hegelian mulai dijadikan dasar pemikiran
kegiatan berbagai lembaga Frankfurt. Horkheimer menjadi Direktur pada fase ini.
Horkheimerlah yang melakukan reorientasi teoritis dan pendekatan yang kemudian
menjadikan kajian-kajian teoritis para pendahulunya. Pada fase kepemimpinan
Horkheimer, aliran Frankfurt mengubah orientasi aliran dari yang bersifat
ekonomis historis ala Grunberg menjadi orientasi filosofis. Hal tersebut
menjadi dasar teori kritik aliran Frankfurt yang mulai terbentuk secara jelas
ketika tokohnya kembali ke Jerman pada 1950-an.
Fase
ketiga, perkembangan aliran Frankfurt
mulai pada awal 1950 sampai 1973. Pada fase ini, pengaruh aliran ini mulai
memudar dengan meninggalnya Adorno tahun 1969 dan Horkheimer tahun 1973. Dengan
kematian dua tokoh terkemuka praktis aliran Frankfurt menjadi mati suri. Aliran
itu tidak lagi berperan dalam dunia pemikiran sosial. pamornya sebagai avant garde intelektual nyaris berakhir.
Aliran ini mulai menapaki masa-masa jayanya kembali dengan munculnya Jurgen
Habermas, seorang ahli terkemuka yang tetap melestarikan dan mengembangkan
teori dan metodologi para pendahulunya. Habermas selanjutnya disebut sebagai
generasi kedua Mahzab Frankfurt.
Dalam
tinjauan teori kritik, perkembangan masyarakat modern yang diawali dengan
semangat pencerahan melalui cara berpikir positivistic da ilmu-ilmu alam telah
meruntuhkan belenggu pemahaman mitologis. Tetapi menurut Adorno dan Horkheimer
cara berpikir positivistic dan ilmu-ilmu alam itu sendirinya sebenarnya
merupakan mitos baru yang lahir dari mitos lama yang telah dilakukannya
(Hardiman, 2009).
B.
Negasi
Dialektika Pencerahan
Secara umum pemikiran
Theodor W. Adorno (1903-1969) memiliki kesamaan dengan tradisi marxisme dan
idealism Jerman, namun tidak semua murni demikian, Adorno memiliki alur
pemikiran sendiri. Melalui kritik radikal atas pemikiran masa pencerahan yang
bekisar pada kemajuan dapat ditentukan arti rasionalitas. Teori-teori tentang
kemajuan pada masa pencerahan menafsirkan sejarah sebagai proses yang
melibatkan manusia dan alam dalam pertentangan satu sama lain. Sejarah dipandang
sebagai pembebasan manusia dari cengkraman alam. Perkembangan sejarah
memperlihatkan proses diatasinya ketergantungan manusia pada alam. Jika manusia
mampu melepaskan diri dari ketergantungan itu, maka pada dasarnya manusia telah
menuju kebebasan secara penuh. Akan tetapi, perlu diingat bahwa kemajuan tidak
dapat terlepas dari kemunduran, karena kemajuan sebagai suatu emansipasi tanpa
adanya penghancuran alam (kemunduran) adalah suatu hal yang absurd. Dengan demikian, teori tentang
kemajuan merupakan suatu yang dialektis. Subtansi dialektika di sini adalah
penguasaan bagi Adorno sama dengan prinsip rasonalitas.
Kekuasaan yang dimiliki oleh manusia dapat membebaskan dirinya
dari alam dengan menaklukkan alam terhadapnya, atau dengan kata lain, dengan
rasionalitas manusia, ia dapat menaklukkan bumi. Inilah yang disebut Adorno
sebagai teknologi sebagai manifestasi dari rasionalisasi. Selanjutnya, dengan
kemampuan teknologi yang dimiliki manusia, ia ingin membebaskan diri dengan
menguasai alam. Namun, kanyataannya justru sebaliknya. Manusia sebagai subjek
yang menguasai, menjadi objek penguasaan. Manusia bermaksud membebaskan dirinya
sendiri, namun kenyataannya justru diperbudak. Terdapatlah suatu pembalikan
dari subjek menjadi objek. Pembalikan ini merupakan problem pokok bagi Adorno.
Hilangnya kebebasan manusia sebagai bentuk pembalikan disebut sebagai
negativitas total (Bertens, 2002).
Singkatnya, dialektika negative tersebut sebenarnya menekankan
pesimisme masyarakat terhadap rasionalitas yang sebelumnya dianggap mampu
menyelamatkan manusia dari kebodohan dan kemiskinan, tetapi kini telah menjadi
sumber dari malapetaka di dalam peradaban manusia itu sendiri. Berbagai bentuk
teknologi hasil temuan dari rasionalitas kini justru seakan-akan memakan
tuannya sendiri, seperti bom atom, yang notabene adalah hasil penemuan brilian
dari pengembangan teori Einstein, kini menjadi mesin penghancur manusia yang
paling efektif. Pada akhirnya, Adorno hanya menyimpulkan perlunya perubahan,
tetapi berkenaan dengan wujud dari perubahan itu masih sangat abstrak.
C.
Manusia
Satu Dimensi
Herbert
Marcuse (1898-1979) cukup terkenal sebagai tokoh Mahzab Frankfurt yang
mengkritik perkembangan masyarakat industry modern. Marcuse melihat bahwa
masyarakat industry modern telah membawa berbagai permasalahan yang tidak mudah
dipecahkan dan menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup umat di masa depan. Pada
pertengahan abad ke-20, masyarakat Barat disibukkan dengan pembangunan di
bidang ekonomi sebagai akibat dari peperangan. Teknologi modern dijadikan
sebagai tumpuan harapan. Suasana seperti ini telah mendorong pertumbuhan
kapitalisme. Segala segi kehidupan diarahkan hanya pada satu tujuan, yaitu
peningkatan sistem kapitalisme. Oleh karena itu, masyarakat industry modern
adalah masyarakat yang tidak sehat, berdimensi satu, represif, totaliter, dan
mengurusi berbagai bidang lainnya.
Konteks
sosial ekonomi tersebut digambarkan oleh Marcuse dalam karyanya yang berjudul One Dimensional Man. Atas karyanya ini,
Marcuse tersohor sebagai filsuf kenamaan secara internasional. Melalui karyanya
itu, ia menganalisis masyarakat industry modern dan berhasil menyimpulkan bahwa
manusia dewasa ini hanya berdimensi satu. Dengan kata lain, masyarakat modern yang
telah maju adalah masyarakat berdimensi satu. Subtansi kajian Marcuse disini
bahwa manusia adalah makhluk yang menuntut kodratnya mendambakan kebahagiaan,
dan karena itu ia berhak mendapatkan kebahagiaan itu. Ragam kebahagiaan itu
sangat tergantung pada jenis kebutuhan masing-masing manusia. Salah satu upaya
mencapai tujuan itu adalah dengan bekerja yang tidak lagi menghinakan martabat
manusia.
Kendati
demikian, tetap saja terdapat hambatan karena adanya suasana represif dalam
proses kehidupan manusia modern. Karakteristik masyarakat industry modern
adalah tingginya posisi peranan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan
demikian, kolaborasi kedua jargon masyarakat industry modern menghasilkan
rasionalitas teknologis. Operasionalisasi cara pandang yang demikian ini adalah
segala sesuatunya dipandang dan dihargai jika dapat digunakan, diperalat, dan
dimanipulasi. Pada mulanya cara pandang dan pola tindak ini hanya diterapkan
dalam hubungan dengan alam semesta. Namun lambat laun menyebar pada dimensi
manusia dan berbagai dimensi kehidupan sosial, politik, dan budaya.
Apabila
kita termenung sejenak, maka kita dapat merasakan adanya suatu penindasan dalam
konteks kehidupan dalam masyarakat industry modern. Penindasan yang terjadi
bukan pada wilayah manusia menindas sesamanya, bukan golongan tertentu yang
menindas golongan lainnya. Melainkan adanya suatu sistem totaliter yang
menguasai semua sendi kehidupan manusia. Totaliter dalam arti yang luas. Pengaruhnya
menjalar di seluruh bidang yang menggerogoti masyarakat industry modern, bahkan
sudah menjangkiti masyarakat di Negara-negara berkembang, tanpa memandang
apakah Negara itu menganut sistem ekonomi politik kapitalisme atau komunisme.
Seperti apakah wujud dari sistem yang totaliter itu? Ia sifatnya anonym. Sistem
tidak lain dan tidak bkan adalah teknologi. Kemampuan manusia menciptakan
sistem ini yang justru berbalik menguasai proses kehidupan umat manusia modern,
itulah manusia yang berdimensi satu.
Nampaknya,
teknologi justru merupakan suatu permasalahan utama nyang dihadapi oleh
masyarakat industry modern. Lantas bagaimana langkah untuk mengeluarkan dari
hantu kapitalisme itu? Haruskah manusia modern meninggalkan teknologinya? Dan
bagaimana model baru masyarakat yang ideal? Jawaban atas sekelumit problematika
ini Marcuse dengan hati-hati dan abstrak dalam memberikan solusi. Menurutnya,
masyarakat tidak semestinya mengamputasi ilmu pengetahuan dan teknologi atau
kembali pada kondisi prailmiah dan prateknis. Ilmu pengetahuan dan teknologi
tidak mesti harus disingkirkan. Melainkan harus dibelokkan kea rah perdamaian
dan kebebasan sejati. Rasionalitas teknologis mestinya tidak bernuansa
penguasaan melainkan memajukan seni peradaban.
Secara
operasional, menurut Marcuse sebagaimana yang dikutip oleh Bertens (2002),
untuk memperjuangkan masyarakat baru, secara konkret diperlukan dua hal. Pertama, perlu sedapat mungkin orang
mengurangi kekuasaan, baik kekuasaan politik maupun kekuasaan ekonomi. Kedua, perlunya mengurangi perkembangan
yang berlebih-lebihan, antara lain menolak kebutuhan-kebutuhan palsu yang
secara artificial dibangkitkan oleh sistem produksi modern dan meninggalkan
semua usaha untuk semakin meningkatkan mutu kehidupan (the standard of living).
D.
Rasionalitas
Tindakan Komunikasi
Jurgen Habermas (1929) popular
sebagai generasi baru atau generasi kedua dalam teori kritik. Predikat tersebut
bukan semata-mata karena ia bukan generasi pertama atau lama, tetapi hal ini
didasarkan pada dua alasan utama. Pertama,
Habermas dianggap sebagai pewaris utama teori kritik yang dikerjakan oleh satu
generasi sebelumnya, yakni Horkheimer bersama rekannya. Kedua, kendati sebagai pewaris, akan tetapi Habermas tidak menerima
warisan pemikiran pendahulunya begitu saja (taken
for granted), melainkan ia melakukan pembaruan untuk mengatasi kebuntuan
teori kritik Horkheimer. Pembaruan atas teori kritik membuat dirinya dipandang
sebagai generasi baru dalam Mahzab Frankfurt.
Menurutnya, sesepuh teori kritik
gagal dalam memahami praksis sosial. para teoritikus kritis awal hanya melihat
praksis dalam arti tunggal yaitu kerja dan melupakan dimensi lain dari praksis
yaitu komunikasi. Untuk mengerti pertanyaan tersebut, kita harus mulai dengan
konsep manusia yang dianut oleh Habermas. Manusia adalah makhluk alam sekaligus
sebagai makhluk sosial yang hidup dalam dominasi dua kekuatan (alam dan
sosial). uapaya manusia membebaskan diri dari dominasi alam, maka manusia
mengubah alam menjadi budaya, mengubah alam untuk kepentingan hidup manusia
inilah yang dinamakan kerja. Ketika manusia melakukan kerja maka pada saat itu
manusia sesungguhnya telah menaklukkan alam di bawah kekuasaannya.
Sementara itu, upaya manusia
mengatasi dominasi dalam lingkungan sosial sebagai focus kajian teori kritik
yaitu dengan menempatkan praksis dalam arti komunikasi. Bagi Harbermas, jika
kita bermaksud melakukan emansipasi, maka pemahaman praksis tidak dapat
dimaknai sebagai kerja, karena pemahaman praksis sebagai kerja justru hanya
akan melahirkan realitas saling menaklukkan untuk menciptakan dominasi baru. Menurut
Habermas, praksis sosial harus dilakukan melalui komunikasi secara komunikatif
yang bertujuan menciptakan suatu consensus atau kesepakatan yang bebas dari
dominasi, paksaan, dan partisipan berkedudukan setara. Untuk mencapai hal itu
diperlukan adanya ruang public (public
sphere) yang dilakukan dengan suatu kompetensi yang meliputi kebenaran,
kejujuran, komprehensif, dan gabungan dari ketiganya.
E.
Masyarakat
Berisiko (Risk Society)
Masyarakat
Risiko atau risk society merupakan salah satu konsep penting yang
diperkenalkan oleh Ulrich Beck. Istilah tersebut ia kemukakan pada tesis
karyanya , Risk Society : Toward a New Modernity , tidak heran jika Beck
dikenal sebagai pencipta atas gambaran mengenai “dunia masyarakat risiko”.
Dalam tesis karyanya, Beck menjelaskan beberapa konsep penting seperti risiko, refleksivitas dan efek boomerang.
Beck
menjelaskan “risiko” (risk)
sebagai, kemungkinan-kemungkinan kerusakan fisik (termasuk mental dan sosial
yang disebabkan oleh proses teknologi dan proses-proses lainnya, seperti proses
sosial, politik, komunikasi, seksual (Piliang, 2009). Dengan demikian, risiko
mempunyai hubungan sangat erat dengan sistem, model, dan proses perubahan di
dalam sebuah masyarakat (industrialisasi, modernisasi, pembangunan), yang akan
menentukan tingkat risiko yang akan mereka hadapi.
Setidaknya
terdapat tiga ekologi atau macam risiko yang di sebutkan oleh Beck, antara lain
:
1. Risiko fisik ekologis yaitu aneka risiko kerusakan fisik
pada manusia dan lingkungannya, contohnya : gempa, tsunami, letusan gunung)
atau risiko yang diproduksi oleh manusia (man made risks). Aneka risiko
biologis yang “diproduksi” melalui aneka makanan, sayuran, hewan ternak,
buah-buahan yang menciptakan aneka penyakit kanker, tumor ganas, syaraf, kulit
disebabkan oleh intervensi proses artifisial-kimiawi terhadap proses alam yang
melampaui batas.
2. Risiko sosial yaitu aneka risiko yang menggiring pada rusaknya bangunan
dan lingkungan sosial sebagai akibat dari faktor-faktor eksternal kondisi alam,
teknologi, industri. risiko fisik “kecelakaan” (lalu lintas jalan, pesawat
terbang, kecelakaan laut), “bencana” (banjir, longsor, kebakaran hutan,
kekeringan), yang sekaligus menciptakan pula secara bersamaan risiko
sosial, berupa tumbuhnya aneka “penyakit sosial”: ketakpedulian, ketakacuhan,
indisipliner, fatalitas, egoisme dan immoralitas.
3. Risiko mental hancurnya bangunan psikis, berupa perkembangan aneka bentuk
abnormalitas, penyimpangan (deviance) atau kerusakan psikis lainnya,
baik yang disebabkan faktor eksternal maupun internal.
Dari pemikiran-pemikiraan Beck
mengenai risiko juga berimbas pada beberapa kelas sosial yang menjadi korban.
Hal tersebut terjadi akibat sejarah distribusi risiko itu sendiri, sebagaimana
kekayaan risiko melekat pada pola kelas, hanya saja yang terjadi adalah
kebalikannya. Kekayaan terakumulasi di puncak sementara risiko akan
terakumulasi di dasar atau bawah” (Beck,1992 : 35, dalam Ritzer dan
Goodman, 2003 : 563 ). Oleh karena itu, tidak mengherankan jika risiko nantinya
akan terpusat pada bangsa yang miskin karena bangsa memiliki kemampuan dan
sarana untuk menjauhkannya. Meskipun begitu, kenyataan tidak akan selalu
berjalan sama, karena Beck juga memberikan gambaran bahwa dunia
masyarakat risiko yang tidak dibatasi oleh tempat atau waktu. Dengan kata lain
bahkan risiko dapat menimpa negara kaya sekalipun. Terkait dengan hal tersebut
adalah konsepnya mengenai “efek boomerang”, yang merupakan pengaruh sampingan dari
risiko yang dapat menyerang kembali ke pusat pembuatnya (Ritzer dan Goodman,
2003 : 563). Sehingga, sering kali masyarakat penikmat hasil modernisasi
terjebak pada apa yang mereka nikmati.
Walaupun modernisasi lebih
dahulu menghasilkan risiko, namun ia akan juga
menghasilkan refleksivitas yang memungkinkannya untuk mempertanyakan
dirinya sendiri dan risiko yang
dihasilkannya ( Ritzer dan Goodman, 2003 : 563 ). Dalam
realita, sering kali rakyat atau korban dari risiko itu sendiri mulai
merefleksikan risiko modernisasi tersebut. Selanjutnya mereka mulai mengamati
dan mengumpulkan data tentang risiko dan akibatnya. Oleh karena itu, refleksivitas
baik berbentuk pikiran, renungan, sikap maupun tindakan akan berperan dalam
mengantisipasi, mengurangi atau mengatasi dampak-dampak atau akibat-akibat dari
risiko.
F.
Kritik atas Modernisasi dan
Keterkaitannya dengan Lingkungan
Melalui kajian sosiologis, problema
lingkungan akan dikaji dari aspek perilaku, tindakan maupun budaya masyarakat
dalam berinteraksi dengan lingkungan.
Meskipun
fokus bidang ini adalah hubungan antara masyarakat dan lingkungan secara umum,
sosiologi lingkungan menempatkan penekanan khusus ketika mempelajari faktor
sosial yang mengakibatkan masalah lingkungan, dampak masyarakat terhadap
masalah-masalah tersebut, dan usaha untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Selain itu, perhatian diberikan terhadap proses sosial yang dengan itu kondisi
lingkungan tertentu dapat ditetapkan secara sosial sebagai sebuah masalah.
Perspektif ini penting karena manusia dalam kehidupannya tidak bisa dilepaskan
dari lingkungan. Problema lingkungan memiliki keterkaitan dengan masyarakat
sebagai pengelolanya.
Sebagai kajian yang yang memberi
penekanan pada faktor sosial yang terkait dengan problem sosial, maka salah
satu hal penting yang dilakukan adalah memberi kritik pada masyarakat bagaimana
ia berinteraksi dengan lingkungan. Di sinilah mazhab Frankfurt, lebih dari
setengah abad yang lalu telah memberi kritik bagaimana hubungan manusia dan
lingkungan. Masyarakat modern adalah cetak biru dari rangkaian panjang sejarah
modernisme. Terdapat banyak paradoksal dalam kebudayaan masyarakat modern. Di
tengah pemujaan pada rasionalitas, terjadi berbagai krisis dan kondisi
ambivalen pada masyarakat modern. Kemiskinan dan kehancuran tata nilai
kehidupan, mengiringi janji kesejahteraan dan kemajuan yang digaungkan oleh
modernisme. Selain itu, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah
memberikan kontribusi terhadap kerusakan lingkungani.
Namun modernisasi diterima dengan
sangat terbuka di negara berkembang (Dunia Ketiga) menyebabkan terbukanya
peluang bagi negara-negara kapitalis untuk mengembangkan usahanya di negara
berkembang melalui perusahaan-perusahaan multinasional. Dalam operasinya,
perusahaan-perusahaan ini kemudian melakukan eksploitasi sumber daya alam di
negara-negara tersebut. Hal ini sebetulnya merugikan negara-negara Dunia Ketiga
(termasuk Indonesia) karena yang terjadi kemudian adalah kerusakan lingkungan.
Penerapan modernisasi dan ideologi
pembangunan di negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia telah menimbulkan
dominasinya peran negara dan pemilik modal besar yang berdampak kerusakan
lingkungan. Indonesia sebagai negara yang terlambat melakukan proses
industrialisasi, melakukan proses pembangunan ekonomi dengan pelbagai cara.
Negara dan pemilik modal melakukan proses pembangunan ekonomi yang kemudian
mendorong akumulasi modal, mendirikan perusahaan-perusahaan negara, investasi,
dan mendorong terciptanya dunia usaha, dan regulasi di bidang industri dan
perdagangan, yang semuanya dilakukan tanpa sensitivitas terhadap lingkungan.
Dalam implementasinya, modernisasi dengan dominasi negara dan pemilik kapital
memunculkan bias lingkungan., yang menimbulkan resiko pada masyarakat.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Masalah lingkungan hidup merupakan
kenyataan yang harus dihadapi oleh semua manusia yang ada di muka bumi dewasa
ini. Masalah lingkungan hidup adalah merupakan masalah yang kompleks dan harus
diselesaikan dengan berbagai pendekatan multidisipliner. Industrialisasi
merupakan keberhasilan pembangunan untuk memacu laju pertumbuhan ekonomi, akan
tetapi industrialisasi juga mengandung resiko lingkungan, yang memberi resiko
pula pada kehidupan manusia.
Persoalan lingkungan adalah bukan
persoalan teknis dan bilogis semata, tapi menjadi persoalan sosial yang harus
didekati dengan kajian sosial-budaya masyarakat. Dengan kajian sosiologi
lingkungan, permasalahan lingkungan dapat dikaji secara lebih komprehensif.
B.
Saran
Setelah membaca makalah ini, kami
sebagai penulis mengharapkan kepada pembaca terkhusus mahasiswa untuk lebih
peduli terhadap lingkungan serta tidak bersikap apatis dalam menyikapi pengeksploitasian
alam secara berlebih.
DAFTAR
PUSTAKA
Agger,
Ben. 2007. Teori Sosial Kritis. Terj. Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Beck,
Ulrich. 2004. A Critical introduction to Risk Society. London: Pluto
Press.
Bertens.
K. 1983. Filsafat Barat Abad XX, Inggris-Jerman, Jakarta: Gramedia
Upe,
Ambo. 2010. Tradisi Aliran Dalam
Sosiologi Dari Filosofi Positivistik ke Post Positivistik. Jakarta:
Rajawali Pers.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar