Kamis, 08 Desember 2016

Sosiologi Lingkungan



MAKALAH
TEORI KRITIS FRANKFURT TERHADAP LINGKUNGAN
(Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Lingkungan)




KELOMPOK VIII

Muh. Tino Wahyu P.
Siti Miftahul Jannah
Aprianingsih
Risma
Agus Salim

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
TAHUN 2016


KATA PENGANTAR

            Syukur Alhamdulillah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan hidayah, rahmat serta karuniaNya sehingga dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, beserta para sahabatnya, juga seluruh pengikutnya di seluruh dunia, sejak awal kebangkitan Islam hingga hari kiamat.
            Makalah ini bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada mahasiswa tentang bebrapa teori kritis Frankfurt terhadap masyarakat modern dan lingkungan.
            Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu kami sangat mengharapkan masukan dan saran dari semua pihak yang sifatnya membangun. Semoga Allah SWT meridhoi usaha dan niat baik kita bersama dalam upaya mewujudkan mahasiswa yang cerdas dan beriman. Amin.

Makassar, Desember 2016
 
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Masyarakat dan lingkungan adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. masyarakat Perilaku dan tindakan manusia dalam kehidupan keseharian berpengaruh pada kualitas lingkungan dimana ia tinggal. Kerusakan lingkungan telah menjadi ancaman yang sangat serius di semua belahan bumi dan telah dirasakan dengan adanya perubahan iklim dan efek-efek yang ditimbulkannya. Di Indonesia, lingkungan yang mengalami kerusakan yang parah dapat dilihat pada penggundulan hutan, polusi udara, maupun pencemaran sungai.
Berkaitan dengan masyarakat yang tidak bisa dilepaskan dari lingkungan, perspektif sosiologis tidak dapat dipungkiri menjadi sangat penting dalam kajiantentang lingkungan. Selain bersinggungan dengan kondisi geografis, biologis, teknologi, maupun ekonomi, kajian lingkungan tidak dapat dilepaskan dari fenomena sosial-budaya sebuah masyarakat. Inilah mengapa kajian lingkungan selalu menjadi kajian yang interdisipliner.
Berkaitan dengan interdisipliner, Dickens (1996: 29-34) berpendapat tentang pentingnya pembagian kerja para intelektual untuk mengatasi problema kerusakan lingkungan tersebut. Tiga ranah ilmu pengetahuan – biologis, fisik dan sosial – memiliki keterkaitan dan problema lingkungan harus menjadi kajian di tiga ranah ilmu pngetahuan ini. (Dickens, 1996: 31). Di era sosiologi kontemporer dewasa ini, sosiologi lingkungan didominasi oleh analisis kritis dan konstruksi sosial.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana aliran tradisi kritik dari Frankfurt?
2.      Bagaimana konsep negasi dialektika pencerahan?
3.      Bagaimana konsep dari manusia satu dimensi?
4.      Bagaimana rasionalitas tindakan komunikasi itu?
5.      Apa yang dimaksud dengan masyarakat beresiko?
6.      Bagaimana kritik atas modernisasi dan keterkaitannya dengan lingkungan?

C.    Tujuan
1.      Mampu memahami aliran tradisi kritik dari Frankfurt.
2.      Mampu memahami konsep negasi dialektika pencerahan
3.      Mampu mengerti konsep dari manusia satu dimensi.
4.      Mampu memaknai rasionalitas tindakan komunikasi itu.
5.      Mengerti tentang  masyarakat beresiko.
6.      Memahami kritik atas modernisasi dan keterkaitannya dengan lingkungan.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Tradisi Kritik dari Frankfurt
Teori kritik merupakan aliran terakhir dalam perkembangan filsafat di abad ke-20 setelah fenomenologi dan aliran-aliran Neomarxis. Teori kritik disebut juga anak dari aliran besar dalam filsafat kontemporer yang berdasarkan filsafat Marx dan melampaui Marx dalam menghadapi masyarakat industry maju. Penganut aliran ini lebih kreatif dalam menganalisis filsafat Marx, cara pemikiran mereka dikenal dengan teori kritik masyarakat. Maksud dari teori ini adalah membebaskan manusia dari pemanipulasian para teknokrat modern. Tradisi teori ini disebut pula Mazhab Frankfurt (Die Frankfurter Schule) karena berasaldari Institut Penelitian Sosial (The Institute Of Social Research) di Jerman yang didirikan oleh Felix Weil, 3 Februari 1923.
Menyebut Mazhab Frankfurt pada dsarnya mengenang riwayat tradisi intelektual yang cukup panjang. Horkheimer, Ardono, dan Marcuse adalah perintis gerakan pemikiran ini, yang kemudian sering pula disebut sebagai generasi pertama. Untuk lebih jelasnya tentang corak pemikiran teori kritik, perlu memahami perkembangan Mahzab Frankfurt asal Jerman ini. Pada umumnya, fase perkembangan aliran ini dapat dibagi ke dalam tiga fase penting. Pertama, fase pembentukan aliran. Fase ini berlangsung sekitar tahun 1923-1933 ketika penelitian-penelitian pertama dilakukan di lembaga penelitian Frankfurt. Direktur pertama lembaga itu adalah Carl Grunberg, seorang ahli ekonomi, sejarahwan sosial. Grumberg berhasil mengalahkan kajian-kajian teoretis Aliran Frankfurt lebih berorientasi empiris dan menekankan pentingnya pendekatan ekonomi dalam menelaah berbagai fenomena sosial.
Fase kedua, fase pengungsian anggota aliran Frankfurt ke Amerika Utara pada 1933-1950. Dimasa pengungsian ini, gagasan-gagasan teori kritik Neo Hegelian mulai dijadikan dasar pemikiran kegiatan berbagai lembaga Frankfurt. Horkheimer menjadi Direktur pada fase ini. Horkheimerlah yang melakukan reorientasi teoritis dan pendekatan yang kemudian menjadikan kajian-kajian teoritis para pendahulunya. Pada fase kepemimpinan Horkheimer, aliran Frankfurt mengubah orientasi aliran dari yang bersifat ekonomis historis ala Grunberg menjadi orientasi filosofis. Hal tersebut menjadi dasar teori kritik aliran Frankfurt yang mulai terbentuk secara jelas ketika tokohnya kembali ke Jerman pada 1950-an.
Fase ketiga, perkembangan aliran Frankfurt mulai pada awal 1950 sampai 1973. Pada fase ini, pengaruh aliran ini mulai memudar dengan meninggalnya Adorno tahun 1969 dan Horkheimer tahun 1973. Dengan kematian dua tokoh terkemuka praktis aliran Frankfurt menjadi mati suri. Aliran itu tidak lagi berperan dalam dunia pemikiran sosial. pamornya sebagai avant garde intelektual nyaris berakhir. Aliran ini mulai menapaki masa-masa jayanya kembali dengan munculnya Jurgen Habermas, seorang ahli terkemuka yang tetap melestarikan dan mengembangkan teori dan metodologi para pendahulunya. Habermas selanjutnya disebut sebagai generasi kedua Mahzab Frankfurt.
Dalam tinjauan teori kritik, perkembangan masyarakat modern yang diawali dengan semangat pencerahan melalui cara berpikir positivistic da ilmu-ilmu alam telah meruntuhkan belenggu pemahaman mitologis. Tetapi menurut Adorno dan Horkheimer cara berpikir positivistic dan ilmu-ilmu alam itu sendirinya sebenarnya merupakan mitos baru yang lahir dari mitos lama yang telah dilakukannya (Hardiman, 2009).

B.     Negasi Dialektika Pencerahan
Secara umum pemikiran Theodor W. Adorno (1903-1969) memiliki kesamaan dengan tradisi marxisme dan idealism Jerman, namun tidak semua murni demikian, Adorno memiliki alur pemikiran sendiri. Melalui kritik radikal atas pemikiran masa pencerahan yang bekisar pada kemajuan dapat ditentukan arti rasionalitas. Teori-teori tentang kemajuan pada masa pencerahan menafsirkan sejarah sebagai proses yang melibatkan manusia dan alam dalam pertentangan satu sama lain. Sejarah dipandang sebagai pembebasan manusia dari cengkraman alam. Perkembangan sejarah memperlihatkan proses diatasinya ketergantungan manusia pada alam. Jika manusia mampu melepaskan diri dari ketergantungan itu, maka pada dasarnya manusia telah menuju kebebasan secara penuh. Akan tetapi, perlu diingat bahwa kemajuan tidak dapat terlepas dari kemunduran, karena kemajuan sebagai suatu emansipasi tanpa adanya penghancuran alam (kemunduran) adalah suatu hal yang absurd. Dengan demikian, teori tentang kemajuan merupakan suatu yang dialektis. Subtansi dialektika di sini adalah penguasaan bagi Adorno sama dengan prinsip rasonalitas.
      Kekuasaan yang dimiliki oleh manusia dapat membebaskan dirinya dari alam dengan menaklukkan alam terhadapnya, atau dengan kata lain, dengan rasionalitas manusia, ia dapat menaklukkan bumi. Inilah yang disebut Adorno sebagai teknologi sebagai manifestasi dari rasionalisasi. Selanjutnya, dengan kemampuan teknologi yang dimiliki manusia, ia ingin membebaskan diri dengan menguasai alam. Namun, kanyataannya justru sebaliknya. Manusia sebagai subjek yang menguasai, menjadi objek penguasaan. Manusia bermaksud membebaskan dirinya sendiri, namun kenyataannya justru diperbudak. Terdapatlah suatu pembalikan dari subjek menjadi objek. Pembalikan ini merupakan problem pokok bagi Adorno. Hilangnya kebebasan manusia sebagai bentuk pembalikan disebut sebagai negativitas total (Bertens, 2002).
      Singkatnya, dialektika negative tersebut sebenarnya menekankan pesimisme masyarakat terhadap rasionalitas yang sebelumnya dianggap mampu menyelamatkan manusia dari kebodohan dan kemiskinan, tetapi kini telah menjadi sumber dari malapetaka di dalam peradaban manusia itu sendiri. Berbagai bentuk teknologi hasil temuan dari rasionalitas kini justru seakan-akan memakan tuannya sendiri, seperti bom atom, yang notabene adalah hasil penemuan brilian dari pengembangan teori Einstein, kini menjadi mesin penghancur manusia yang paling efektif. Pada akhirnya, Adorno hanya menyimpulkan perlunya perubahan, tetapi berkenaan dengan wujud dari perubahan itu masih sangat abstrak.

C.    Manusia Satu Dimensi
Herbert Marcuse (1898-1979) cukup terkenal sebagai tokoh Mahzab Frankfurt yang mengkritik perkembangan masyarakat industry modern. Marcuse melihat bahwa masyarakat industry modern telah membawa berbagai permasalahan yang tidak mudah dipecahkan dan menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup umat di masa depan. Pada pertengahan abad ke-20, masyarakat Barat disibukkan dengan pembangunan di bidang ekonomi sebagai akibat dari peperangan. Teknologi modern dijadikan sebagai tumpuan harapan. Suasana seperti ini telah mendorong pertumbuhan kapitalisme. Segala segi kehidupan diarahkan hanya pada satu tujuan, yaitu peningkatan sistem kapitalisme. Oleh karena itu, masyarakat industry modern adalah masyarakat yang tidak sehat, berdimensi satu, represif, totaliter, dan mengurusi berbagai bidang lainnya.
Konteks sosial ekonomi tersebut digambarkan oleh Marcuse dalam karyanya yang berjudul One Dimensional Man. Atas karyanya ini, Marcuse tersohor sebagai filsuf kenamaan secara internasional. Melalui karyanya itu, ia menganalisis masyarakat industry modern dan berhasil menyimpulkan bahwa manusia dewasa ini hanya berdimensi satu. Dengan kata lain, masyarakat modern yang telah maju adalah masyarakat berdimensi satu. Subtansi kajian Marcuse disini bahwa manusia adalah makhluk yang menuntut kodratnya mendambakan kebahagiaan, dan karena itu ia berhak mendapatkan kebahagiaan itu. Ragam kebahagiaan itu sangat tergantung pada jenis kebutuhan masing-masing manusia. Salah satu upaya mencapai tujuan itu adalah dengan bekerja yang tidak lagi menghinakan martabat manusia.
Kendati demikian, tetap saja terdapat hambatan karena adanya suasana represif dalam proses kehidupan manusia modern. Karakteristik masyarakat industry modern adalah tingginya posisi peranan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian, kolaborasi kedua jargon masyarakat industry modern menghasilkan rasionalitas teknologis. Operasionalisasi cara pandang yang demikian ini adalah segala sesuatunya dipandang dan dihargai jika dapat digunakan, diperalat, dan dimanipulasi. Pada mulanya cara pandang dan pola tindak ini hanya diterapkan dalam hubungan dengan alam semesta. Namun lambat laun menyebar pada dimensi manusia dan berbagai dimensi kehidupan sosial, politik, dan budaya.
Apabila kita termenung sejenak, maka kita dapat merasakan adanya suatu penindasan dalam konteks kehidupan dalam masyarakat industry modern. Penindasan yang terjadi bukan pada wilayah manusia menindas sesamanya, bukan golongan tertentu yang menindas golongan lainnya. Melainkan adanya suatu sistem totaliter yang menguasai semua sendi kehidupan manusia. Totaliter dalam arti yang luas. Pengaruhnya menjalar di seluruh bidang yang menggerogoti masyarakat industry modern, bahkan sudah menjangkiti masyarakat di Negara-negara berkembang, tanpa memandang apakah Negara itu menganut sistem ekonomi politik kapitalisme atau komunisme. Seperti apakah wujud dari sistem yang totaliter itu? Ia sifatnya anonym. Sistem tidak lain dan tidak bkan adalah teknologi. Kemampuan manusia menciptakan sistem ini yang justru berbalik menguasai proses kehidupan umat manusia modern, itulah manusia yang berdimensi satu.
Nampaknya, teknologi justru merupakan suatu permasalahan utama nyang dihadapi oleh masyarakat industry modern. Lantas bagaimana langkah untuk mengeluarkan dari hantu kapitalisme itu? Haruskah manusia modern meninggalkan teknologinya? Dan bagaimana model baru masyarakat yang ideal? Jawaban atas sekelumit problematika ini Marcuse dengan hati-hati dan abstrak dalam memberikan solusi. Menurutnya, masyarakat tidak semestinya mengamputasi ilmu pengetahuan dan teknologi atau kembali pada kondisi prailmiah dan prateknis. Ilmu pengetahuan dan teknologi tidak mesti harus disingkirkan. Melainkan harus dibelokkan kea rah perdamaian dan kebebasan sejati. Rasionalitas teknologis mestinya tidak bernuansa penguasaan melainkan memajukan seni peradaban.
Secara operasional, menurut Marcuse sebagaimana yang dikutip oleh Bertens (2002), untuk memperjuangkan masyarakat baru, secara konkret diperlukan dua hal. Pertama, perlu sedapat mungkin orang mengurangi kekuasaan, baik kekuasaan politik maupun kekuasaan ekonomi. Kedua, perlunya mengurangi perkembangan yang berlebih-lebihan, antara lain menolak kebutuhan-kebutuhan palsu yang secara artificial dibangkitkan oleh sistem produksi modern dan meninggalkan semua usaha untuk semakin meningkatkan mutu kehidupan (the standard of living).

D.    Rasionalitas Tindakan Komunikasi
Jurgen Habermas (1929) popular sebagai generasi baru atau generasi kedua dalam teori kritik. Predikat tersebut bukan semata-mata karena ia bukan generasi pertama atau lama, tetapi hal ini didasarkan pada dua alasan utama. Pertama, Habermas dianggap sebagai pewaris utama teori kritik yang dikerjakan oleh satu generasi sebelumnya, yakni Horkheimer bersama rekannya. Kedua, kendati sebagai pewaris, akan tetapi Habermas tidak menerima warisan pemikiran pendahulunya begitu saja (taken for granted), melainkan ia melakukan pembaruan untuk mengatasi kebuntuan teori kritik Horkheimer. Pembaruan atas teori kritik membuat dirinya dipandang sebagai generasi baru dalam Mahzab Frankfurt.
Menurutnya, sesepuh teori kritik gagal dalam memahami praksis sosial. para teoritikus kritis awal hanya melihat praksis dalam arti tunggal yaitu kerja dan melupakan dimensi lain dari praksis yaitu komunikasi. Untuk mengerti pertanyaan tersebut, kita harus mulai dengan konsep manusia yang dianut oleh Habermas. Manusia adalah makhluk alam sekaligus sebagai makhluk sosial yang hidup dalam dominasi dua kekuatan (alam dan sosial). uapaya manusia membebaskan diri dari dominasi alam, maka manusia mengubah alam menjadi budaya, mengubah alam untuk kepentingan hidup manusia inilah yang dinamakan kerja. Ketika manusia melakukan kerja maka pada saat itu manusia sesungguhnya telah menaklukkan alam di bawah kekuasaannya.
Sementara itu, upaya manusia mengatasi dominasi dalam lingkungan sosial sebagai focus kajian teori kritik yaitu dengan menempatkan praksis dalam arti komunikasi. Bagi Harbermas, jika kita bermaksud melakukan emansipasi, maka pemahaman praksis tidak dapat dimaknai sebagai kerja, karena pemahaman praksis sebagai kerja justru hanya akan melahirkan realitas saling menaklukkan untuk menciptakan dominasi baru. Menurut Habermas, praksis sosial harus dilakukan melalui komunikasi secara komunikatif yang bertujuan menciptakan suatu consensus atau kesepakatan yang bebas dari dominasi, paksaan, dan partisipan berkedudukan setara. Untuk mencapai hal itu diperlukan adanya ruang public (public sphere) yang dilakukan dengan suatu kompetensi yang meliputi kebenaran, kejujuran, komprehensif, dan gabungan dari ketiganya.
E.     Masyarakat Berisiko (Risk Society)
Masyarakat Risiko atau risk society merupakan salah satu konsep penting yang diperkenalkan oleh Ulrich Beck. Istilah tersebut ia kemukakan pada  tesis karyanya , Risk Society : Toward a New Modernity , tidak heran jika Beck dikenal sebagai pencipta atas gambaran mengenai “dunia masyarakat risiko”.  Dalam tesis karyanya, Beck menjelaskan beberapa konsep penting seperti risiko, refleksivitas dan efek boomerang.
Beck menjelaskan “risiko” (risk) sebagai, kemungkinan-kemungkinan kerusakan fisik (termasuk mental dan sosial yang disebabkan oleh proses teknologi dan proses-proses lainnya, seperti proses sosial, politik, komunikasi, seksual (Piliang, 2009). Dengan demikian, risiko mempunyai hubungan sangat erat dengan sistem, model, dan proses perubahan di dalam sebuah masyarakat (industrialisasi, modernisasi, pembangunan), yang akan menentukan tingkat risiko yang akan  mereka hadapi.
Setidaknya terdapat tiga ekologi atau macam risiko yang di sebutkan oleh Beck, antara lain : 
1.      Risiko fisik ekologis yaitu aneka risiko kerusakan fisik pada manusia dan lingkungannya, contohnya : gempa, tsunami, letusan gunung) atau risiko yang diproduksi oleh manusia (man made risks). Aneka risiko biologis yang “diproduksi” melalui aneka makanan, sayuran, hewan ternak, buah-buahan yang menciptakan aneka penyakit kanker, tumor ganas, syaraf, kulit disebabkan oleh intervensi proses artifisial-kimiawi terhadap proses alam yang melampaui batas.
2.      Risiko sosial yaitu aneka risiko yang menggiring pada rusaknya bangunan dan lingkungan sosial sebagai akibat dari faktor-faktor eksternal kondisi alam, teknologi, industri. risiko fisik “kecelakaan” (lalu lintas jalan, pesawat terbang, kecelakaan laut), “bencana” (banjir, longsor, kebakaran hutan, kekeringan), yang sekaligus  menciptakan pula secara bersamaan risiko sosial, berupa tumbuhnya aneka “penyakit sosial”: ketakpedulian, ketakacuhan, indisipliner, fatalitas, egoisme dan immoralitas.
3.      Risiko mental hancurnya bangunan psikis, berupa perkembangan aneka bentuk abnormalitas, penyimpangan (deviance) atau kerusakan psikis lainnya, baik yang disebabkan faktor eksternal maupun internal.
Dari pemikiran-pemikiraan Beck mengenai risiko juga berimbas pada beberapa kelas sosial yang menjadi korban. Hal tersebut terjadi akibat sejarah distribusi risiko itu sendiri, sebagaimana kekayaan risiko melekat pada pola kelas, hanya saja yang terjadi adalah kebalikannya. Kekayaan terakumulasi di puncak sementara risiko  akan  terakumulasi di  dasar  atau bawah” (Beck,1992 : 35, dalam Ritzer dan Goodman, 2003 : 563 ). Oleh karena itu, tidak mengherankan jika risiko nantinya akan terpusat pada bangsa yang miskin karena bangsa memiliki kemampuan dan sarana untuk menjauhkannya. Meskipun begitu, kenyataan tidak akan selalu berjalan sama, karena Beck juga memberikan gambaran bahwa  dunia masyarakat risiko yang tidak dibatasi oleh tempat atau waktu. Dengan kata lain bahkan risiko dapat menimpa negara kaya sekalipun. Terkait dengan hal tersebut adalah konsepnya mengenai “efek boomerang”, yang merupakan pengaruh sampingan dari risiko yang dapat menyerang kembali ke pusat pembuatnya (Ritzer dan Goodman, 2003 : 563). Sehingga, sering kali masyarakat penikmat hasil modernisasi terjebak pada apa yang mereka nikmati.
Walaupun modernisasi lebih  dahulu  menghasilkan  risiko,  namun  ia akan juga menghasilkan refleksivitas yang memungkinkannya untuk mempertanyakan  dirinya  sendiri  dan  risiko  yang  dihasilkannya  ( Ritzer  dan  Goodman, 2003 : 563 ). Dalam realita, sering kali rakyat atau korban dari risiko itu sendiri mulai merefleksikan risiko modernisasi tersebut. Selanjutnya mereka mulai mengamati dan mengumpulkan data tentang risiko dan akibatnya. Oleh karena itu, refleksivitas baik berbentuk pikiran, renungan, sikap maupun tindakan akan berperan dalam mengantisipasi, mengurangi atau mengatasi dampak-dampak atau akibat-akibat dari risiko.
F.     Kritik atas Modernisasi dan Keterkaitannya dengan Lingkungan
Melalui kajian sosiologis, problema lingkungan akan dikaji dari aspek perilaku, tindakan maupun budaya masyarakat dalam berinteraksi dengan lingkungan. Meskipun fokus bidang ini adalah hubungan antara masyarakat dan lingkungan secara umum, sosiologi lingkungan menempatkan penekanan khusus ketika mempelajari faktor sosial yang mengakibatkan masalah lingkungan, dampak masyarakat terhadap masalah-masalah tersebut, dan usaha untuk menyelesaikan masalah tersebut. Selain itu, perhatian diberikan terhadap proses sosial yang dengan itu kondisi lingkungan tertentu dapat ditetapkan secara sosial sebagai sebuah masalah. Perspektif ini penting karena manusia dalam kehidupannya tidak bisa dilepaskan dari lingkungan. Problema lingkungan memiliki keterkaitan dengan masyarakat sebagai pengelolanya.
Sebagai kajian yang yang memberi penekanan pada faktor sosial yang terkait dengan problem sosial, maka salah satu hal penting yang dilakukan adalah memberi kritik pada masyarakat bagaimana ia berinteraksi dengan lingkungan. Di sinilah mazhab Frankfurt, lebih dari setengah abad yang lalu telah memberi kritik bagaimana hubungan manusia dan lingkungan. Masyarakat modern adalah cetak biru dari rangkaian panjang sejarah modernisme. Terdapat banyak paradoksal dalam kebudayaan masyarakat modern. Di tengah pemujaan pada rasionalitas, terjadi berbagai krisis dan kondisi ambivalen pada masyarakat modern. Kemiskinan dan kehancuran tata nilai kehidupan, mengiringi janji kesejahteraan dan kemajuan yang digaungkan oleh modernisme. Selain itu, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah memberikan kontribusi terhadap kerusakan lingkungani.
Namun modernisasi diterima dengan sangat terbuka di negara berkembang (Dunia Ketiga) menyebabkan terbukanya peluang bagi negara-negara kapitalis untuk mengembangkan usahanya di negara berkembang melalui perusahaan-perusahaan multinasional. Dalam operasinya, perusahaan-perusahaan ini kemudian melakukan eksploitasi sumber daya alam di negara-negara tersebut. Hal ini sebetulnya merugikan negara-negara Dunia Ketiga (termasuk Indonesia) karena yang terjadi kemudian adalah kerusakan lingkungan.
Penerapan modernisasi dan ideologi pembangunan di negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia telah menimbulkan dominasinya peran negara dan pemilik modal besar yang berdampak kerusakan lingkungan. Indonesia sebagai negara yang terlambat melakukan proses industrialisasi, melakukan proses pembangunan ekonomi dengan pelbagai cara. Negara dan pemilik modal melakukan proses pembangunan ekonomi yang kemudian mendorong akumulasi modal, mendirikan perusahaan-perusahaan negara, investasi, dan mendorong terciptanya dunia usaha, dan regulasi di bidang industri dan perdagangan, yang semuanya dilakukan tanpa sensitivitas terhadap lingkungan. Dalam implementasinya, modernisasi dengan dominasi negara dan pemilik kapital memunculkan bias lingkungan., yang menimbulkan resiko pada masyarakat.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Masalah lingkungan hidup merupakan kenyataan yang harus dihadapi oleh semua manusia yang ada di muka bumi dewasa ini. Masalah lingkungan hidup adalah merupakan masalah yang kompleks dan harus diselesaikan dengan berbagai pendekatan multidisipliner. Industrialisasi merupakan keberhasilan pembangunan untuk memacu laju pertumbuhan ekonomi, akan tetapi industrialisasi juga mengandung resiko lingkungan, yang memberi resiko pula pada kehidupan manusia.
Persoalan lingkungan adalah bukan persoalan teknis dan bilogis semata, tapi menjadi persoalan sosial yang harus didekati dengan kajian sosial-budaya masyarakat. Dengan kajian sosiologi lingkungan, permasalahan lingkungan dapat dikaji secara lebih komprehensif. 
B.     Saran
Setelah membaca makalah ini, kami sebagai penulis mengharapkan kepada pembaca terkhusus mahasiswa untuk lebih peduli terhadap lingkungan serta tidak bersikap apatis dalam menyikapi pengeksploitasian alam secara berlebih.
 
DAFTAR PUSTAKA

Agger, Ben. 2007. Teori Sosial Kritis. Terj. Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Beck, Ulrich. 2004. A Critical introduction to Risk Society. London: Pluto Press.

Bertens. K. 1983. Filsafat Barat Abad XX, Inggris-Jerman, Jakarta: Gramedia

Upe, Ambo. 2010. Tradisi Aliran Dalam Sosiologi Dari Filosofi Positivistik ke Post Positivistik. Jakarta: Rajawali Pers.






 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar